Involusi Agrikultur. Memahami Boeke dan Furnivall dari kacamata Geertz
Kamis, 24 Mei 2012
0
komentar
Involusi Agrikultur. Memahami Boeke dan Furnivall dari kacamata Geertz
wrod: hatib abdul khadir
Tidak ada sarjanawan yang lebih produktif dibanding Clifford Geertz (Inglis, 2000). Ia telah mampu mencakup beberapa bidang ketertarikan, dan meskipun pusat penekanannya lebih kepada konsep budaya dan relasinya terhadap aksi sosial, ia telah membuat kontribusi terhadap studi ekonomi pembangunan, ekologi, sejarah komparatif, politik nasionalis dan organisasi sosial. Meskipun demikian, karya studi klasiknya tentunya adalah Agricultural Involution: The Processes of Ecological Change in Indonesai (1963a).
Studi Geertz ini meniru dari studi antropolog, Sharp di Thailand Tengah. Kedua kasus ini berangkat dari tim proyek yang bertujuan sama yakni meningkatkan pemahaman segmen kehidupan dari kompleksitas masyarakat yang melakukan pertanian irigasi dan kebudayaan dalam konteks modernisasi, pembangunan dan Negara bangsa. Tim Geertz tiba di Jawa terdiri dari sebelas peneliti lapangan yang dibiayai oleh Ford Foundation. Meskipun demikian, fokus dari riset ini cenderung masih mendefinisikan unit sosial Mojokuto, Jawa Timur. Dalam penelitian Geertz di Modjokuto (adalah kota menengah, dengan nama aslinya adalah Pare) dimana kota nya yang bersifat multi etnik yakni 24, 000 penduduk, mayoritas adalah orang Jawa, dengan 2,000 orang Cina yang menjadi jantung dari sistem sirkulasi ekonomi (1960: 2).
Salah Satu dari tujuan utama dari tim MIT, dibawah arahan ekonom, Benyamin Higgins ialah untuk melihat permasalahan dan prospek-prospek perkembangan ekonomi, dengan mereferensi secara spesifik pada faktor-faktor sosio-kultural. Studi Geertz mengenai involusi kultural perlu dibaca relasinya dengan karya Boeke dalam bukunya tentang dualisme ekonomi. Karya Geertz ini merupakan versi revisi versi yang lebih dinamis daripada tesis dual ekonomi ala Boeke, dimana Geertz menanyakan tafsir Boeke mengenai relasi-relasi antara mentalitas petani dan kebijakan pemerintah kolonial Belanda.
Salah satu perhatian utama Clifford Geertz dari empat publikasinya ini adalah untuk memahami proses perubahan dan trajektori sosial dan transformasi kultural Indonesia pasca merdeka, sebuah Negara, yang pada waktu itu, tengah mencoba untuk memperbaiki diri dari peperangan, konflik, dan kehancuran ekonomi seiring dengan pendudukan Jepang dan revolusi perjuangan menentang Belanda untuk penentuan kemerdekaan. Agricultural Involution adalah buku yang yang teoritik dimana secara panjang menjelaskan detail sejarah mulai dari tahun 1958. Buku ini mengusung analisis sejarah dan ekologi tentang munculnya dan berkembangnya dualisme di Jawa, atau yang lebih tepatnya disebut “Inner Indonesia“ (bagian dalamnya Indonesia) dimana bagi Geertz terdiri dari Jawa, Bali dan Lombok, dibawa kolonialisme Belanda dan kekontrasannya serta transformasinya dengan berbagai wilayah di pulau-pulau luar lainnya. Studi Geertz juga secara tegas menempatkan literatur sosiologis pasca perang, yang bertentangan terhadap Jepang, yang tidak berhasil menciptakan jalan industrialisasi, modernisasi dan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Geertz mencoba untuk menjelaskan kegagalan ini, atau mengungkapkan rintangan terhadap pertumbuhan, dalam hal pengalaman kolonial tertentu yang beraksi terhadap ekologi dan ekonomi desa tertentu. Karena itu ia merujuk cara dimana kultur orang Jawa, motivasi-motivasi manusianya, nilai-nilai, pola-pola perilaku dan aksi sosial serta relasinya membentuk dan dibentuk oleh proses-proses serta kekuatan yang lebih luas. Lantas bagaimana kemudian orang Jawa mampu mengatasi tekanan dari perubahan ini?
Dengan ketertarikannya terhadap penjelasan sejarah pandangan Geertz menunjukkan beberapa kemiripan dengan pendekatan keterbelakangan dan ketergantungan (periksa bab 5), meski secara keseluruhan Agricultural Involution secara tegas merupakan perspektif dari antropologi kultural Amerika dan pendekatan modernisasi neo-evolusi. Kerangka penjelasan Geertz didasarkan bukan pada teori-teori neo Marxist dan bukan juga pada pendekatan sistem dunia yang tunggal, namun ia memilih pendekatan ekosistem. Pendekatannya merupakan cabang dari perspektif ekologi kultural (periksa Bab 7). Ia melihat beberapa hubungan-hubungan detail bentuk sosial dan kultural tertentu orang Jawa, organisasi ekonomi dan lingkungan dan cara dimana relasi-relasi ini berubah dalam konteks relasinya dengan ekonomi dan politik.
Geertz berpendapat bahwa pemerintah kolonial mengintegrasikan agrikultur petani Jawa ke dalam sebuah model intensif, sistem yang memproduksi tanaman komersial bagi Belanda, pada akhirnya mengikat petani-petani dari sektor subsisten mereka dengan mengeksklusi mereka dari sektor komersial, dan menggunakan beberapa tanah mereka dan pekerja untuk keuntungan. Karena itu orang Jawa mereproduksi kekuatan pekerja mereka dalam sektor subsisten yang “tradisional“ dan membudidayakan tebu dan kopi untuk Belanda di sektor yang “modern“. Aktivitas dualistik ini pada gilirannya dimungkinkan oleh properti dari irigasi agrikultur yang kaya, dimana Geertz berperdapat, dapat mendukung meningkatkan kepadatan penduduk dan intensifikasi pertanian. Fasilitas-fasilitas irigasi yang dikembangkan, pertanian sawah yang menguntungkan atas tanah dan kemampuan untuk meningkatkan produksi beras. Namun, dengan perkembangan populasi dan kurangnya akses ke sektor alternatif-alternatif ekonomi lainnya, hasil beras per hektar meningkat namun tidak bagi produksi perkapitanya.
Menurut Geertz, orang Jawa merespons dualisme dengan cara yang agak sederhana yakni memeras lebih dan lebih jumlah mereka ke dalam sektor pertanian, membaginya dan mendistribusikan kerja dan produksi, dan meningkatkan komunalitas daripada hak individual terhadap tanah. Hasilnya adalah tingginya homogenitas sosio ekonomi petani dan munculnya “shared poverty“ (berbagi kemiskinan) dan sepertinya keadaan ini tidak memungkinkan untuk mencapati modernisasi dan transisi menuju kapitalisme. Daripada mengakselerasi proses evolusi dan kemudian sebuah revolusi transformasi dari tradisi menuju modernitas, bentuk-bentuk ekonomi, kultural dan sosial orang Jawa berbelok mengarah ke dirinya sendiri; mereka menjadi “terinvolusi“, secara internal terlalu rumit, berliku dan kompleks dan terkunci dalam “situasi yang permanen“. Meski konsep “involusi“ diambil dari Alexander Goldenweiser, tesis Geertz lebih dekat ke Furnivall dalam bukunya Netherlands India (1939) yang berpendapat bahwa diferensiasi sosial petani dan kapasitas masyarakat pedesaan menuju modernitas dirusak oleh transformasi hak terhadap tanah disebabkan oleh permintaan Sistem Tanam Belanda atau tanam paksa terhadap tanaman pertanian komersial. Namun, dalam imajinasinya penggunaan konsep “involusi“ Geertz menyuguhkan kepada kita karaktersitik proses generik “sistemik“ atau “penuaan organik“, yakni sebuah proses “ekspansi statis“ dimana kehidupan hanya bersifat tambal sulam hingga akhir hayat.
***
from: http://www.facebook.com/notes/hatib-abdul-kadir/involusi-agrikultur-memahami-boeke-dan-furnivall-dari-kacamata-geertz/481231518592
0 komentar:
Posting Komentar