Little Diary
Selasa, 23 April 2013
0
komentar

Word: bilal revolusi.
Sabtu, di ruang tengah.
Lucu yah, kalau ngomongin cowok yang punya diary! Kesannya kayak cewek aja. ItsSs, jangan salah nih, kalau cowok juga punya diary, nyatanya banyak lho cowok yang nulis aktivitasnya di buku kecilnya itu, lalu nggak di sangka, doi udah ngeliarin sebuah karya kecil berupa sebuah buku yang keberadaaannya nggak bisa di lepas dari little diary-nya yang di pandang sebelah mata oleh banyak orang.
Aktivitas tulis-menulis kadangkala di remehin oleh sebagaian besar dari
kita. Padahal menurut saya semua orang bisa menulis-Cuma karna alasan malas dan
nggak bisa aja, kita seolah mengabaikan dunia tulis menulis. Dalam dunia
akademis pun, nilai terakhir yang di perhitungkan adalah skripsi, dan skripsi
itu adalah karya dari tulis-menulis. Tapi seringkali, paca selesai dari bangku
pendidikan formal [perkulihaan_misalnya], kita malah nggak lagi menulis, kita
menulis hanya sekedar buat memenuhi syarat selesainya perkulihaan, begitu pula
saat kita sekolah, kita menulis hanya untuk memenuhi tugas-tugas dari guru
doang. Budaya menulis memang di pandang remeh oleh banyak orang di negeri ini. Kita
belum sadar dan benar-benar belum menyadari bahwa tulisan sekecil apapun
itu-dari catatan kita hari ini, akan berdampak pada masa depan orang lain
kelak. Contoh paling kecil deh, siapa yang pernah menyangka bahwa imam Rijali
saat menulis, kutipan-kutipannya di ambil oleh rumpius untuk melengkapi karya rumpius
tentang jazirah lai-hitu. Siapa juga yang menyangka kalau catatan ibnu batuta
saat sampai di sumatera menjadi rujukan sebagai bukti bahwa islam pernah masuk
di daerah sana. Siapa juga yang pernah menyangka kalau lewat catatan harian seorang
blogger bernama Muhammad Arifin budiman, bisa menjadi buku yang sangat
inspiratif buat yang pengen membangun perusahaan berbasis ide. Mungkin kalau
saya merunut siapa-siapa lagi yang lewat catatan harian bisa membuat kita termotivasi
buat menjadi baik, kertas-kertas ini nggak akan bisa selesai-selesai karna
semua pelulis bermula dari tulisan sederhana yang ditulisnya. Nggak ada yang
bisa langsuk klop jadi pelulis padahal untuk menulis satu katapun ia nggak
pernah. Kok jadi begini yah,
menjelasinnya!
Saya lupa secara praktis kapan saya mulai suka dunia tulis-melulis, tapi
seingat saya tiba-tiba kesukaan saya mulai muncul saat saya suka membaca [bukan
buku pelajaraan_pen]. Orang tua saya bukan jenis orang tua yang doyan
menghabiskan waktu mereka dengan membaca, mereka lebih senang meng-oral-kan sesuatu
ketimbang membumikan budaya literal. Ruang lingkup teman-teman saya pun, bukanlah
manusia-manusia yang suka membaca, mereka adalah jenis manusia yang berbagi
dengan sesama lewat budaya oral. Sewaktu belum sekolah, saya pernah meminjam
sebuah buku bersampul putih, bergambar seorang kakak tua renta berserta seorang
nenek dan seorang bocah gemuk yang berwajah riang dengan senyum dan
gigi-giginya seperti gergaji. Saya hanya melihat gambar dari buku itu, isinya
di bacakan oleh Iwin [seorang teman bermain yang sudah lancer membaca] ia yang
membacakan isi buku itu hingga habis, saya hanya menjadi pendengar setia. Tak
di sangka sampai sekarang saya masih ingat ceritanya, padahal umur saya
sekarang 21 tahun. Kegilaan membaca saya pun mulai muncul saat kakak saya [Evon
Gujali Tutupoho] sering pulang dari sekolah menenteng buku dari sekolahnya, ada
kisah tentang hantu di jendela, yang padahal bukanlah hantu, melainkan hanya sebatang
daun dari pohon pisang yang berayun-ayun di kaca jendela. Ada juga Si Eni
[teman bermain sewaktu kecil] yang sering di kirimi majalah bobo oleh kakaknya,
sewaktu itu saya Cuma jadi penikmat gambar kelinci saja, saya belum pandai
membaca, kemampuan membaca saya di kelas 4 baru terasa dengan baik. Di sisi
lain teman-teman saya yang lain sudah sangat pandai membaca, saya Cuma diam di
pojok menyaksikan mereka membaca sebuah bacaan. Dan sewaktu SMP, saya mulai
nggak terlalu dekat lagi dengan dunia membaca, maklum anak pengungsi-saat
konflik social terjadi di ambon tahun 1999, sekitar tahun 2000, kami sekeluarga
mengungsi kedaerah lain demi pendidikan. Dan saat balik lagi keambon tahun
2004, sama dunia membaca nggak terlalu saya suka. Tapi lain halnya waktu SMA, saya
bertemu seorang guru yang membuat saya penasaran dengan sebuah novel, lalu mulai saat itu beberapa
jenis buku saya lahap dengan nikmat, apalagi yang bergenre agama, novel-novel, dan cerpen islami. Dan nggak disangka kalau
kegemaran saya mendengar radio Kabaresi FM [sekarang sudah nggak siaran],
menghantar saya menyelam lebih dalam lagi, saya mulai banyak mencari informasi tentang
siaran Voice of islam yang sempat
berkerja sama dengan Kabaresi dan mediaislamnet.
Saya mulai suka bahasan-bahasan tetang underground, berseluncur dengan internet
dan mencari informasi tentang underground, mulai mengenal dunia punk, dan satu
yang membuat saya kepincut adalah zine. Bagi saya tanpa zine mungkin dunia
underground hanya berselera pada bermusik saja tanpa membekukannya dalam
halaman tulisan. Namun, lewat zine, mereka bisa menyebarkan ide-ide mereka, review
buku, album mereka, dan aktivitas mereka. Dan hingga sekarang saya masih amat
menyukai zine, ketimbang bacaan yang lain, meski buku lebih banyak mendominasi
hari-hari saya. Beberapa penulis cuga menginspirasi saya, oleh solihin lewat bangkit donk sobat!, divan semesta lewat
Riang Merapi, ifa avianty lewat apologi bijak poligami, cerpen-cerpennya
irwan kelana yang sempat buat saya menangis, novel-novelnya Habiburrahman El
shirzy terkhusus novel pudarnya kecantikan
Cleopatra, novelnya Andrea Hirata, laskar
pelangi, sang pemimpi dan Edensor.
Bukunya Ahamad Mansur surya Negara: Api
sejarah 1 dan 2, bukunya abdul khalik benylay: ganja dari aceh hingga bob marley, dan buku-buku yang lain yang
nggak bisa saya sebutkan satu persatu namanya, emm, buku yang ingin saya sebutkan
banyak membimbing pikiran saya adalah buku karya cendikiawan muslim, Adian
husaini: wajah peradaban barat.
Yah mungkin samapai di sini deh, curhat-curhat kita… saya mau istirahat
dulu…[]
0 komentar:
Posting Komentar