“Abang Kerja Apa?”, “Saya Gembel Pak…”

Posted by bilal Selasa, 29 Mei 2012 0 komentar

Editor : Aditya Abdurrahman Abu Hafizh|
asal tulisan: www.undergroundtauhid.com|
 di copy paste oleh: catatan harian kecil: bilalrevolusi.blogspot.com|

word: Bey Erest
Penghuni condominium Gembel Makmur Group (GMG) terkaget-kaget ketika melihat Utuy keluar rumah pagi-pagi buta dengan mengenakan pakaian yang amat rapih. “Nggak biasanya ente pakai kemeja lengan panjang, mau kemana emang?” Tanya salah seorang penghuni.

Utuy berlalu saja tanpa memberikan klarifikasi seucap patah kata pun. Ia berjalan menyusuri rawa-rawa di belakang komplek elit GMG. Lalu melintasi gunung, melewati lembah, dan sungai mengalir indah ke samudera. Setelah perjalanan menembus gelapnya pagi ba’da shubuh, akhirnya Utuy sampai juga di depan komplek. Ia melambaikan tangan kirinya, lalu sebuah bis berhenti tepat di depannya.

Seperti menjadi kebiasannya, ia mengambil sesuatu dari tas. Lalu ia memainkannya menjadi sebuah lagu penghibur perjalanan. Tidak lupa pula Utuy berucap uluk salam, melantunkan doa selamat dalam perjalanan serta mengucapkan terima kasih atas atensi dari para pendengar. Kemudian dari saku Utuy keluar bungkus permen kosong. Beberapa penumpang bis memberikan uang simpatinya. Setelah itu Utuy duduk di belakang, menyandarkan badan lalu terlelap.

”Bang, sudah sampai!” teriak sang kenek.

Utuy bangun dalam keadaan setengah sadar. Dengan sedikit tersandung-sandung, ia turun dari bis dan menuju ke sebuah gedung. Pagi itu memang masih pukul delapan, namun orang yang mengantri sudah seperti semut berebut es teh manis. Ramai, padat merayap.

Semua orang yang hadir berpakaian seperti telah berjanjian dengan Utuy. Semuanya rapih. Kemeja lengan panjang, baju dimasukan, dan dandanan klimis bagi yang pria, serta menor bagi yang wanita.

Lalu Utuy mempersiapkan sebuah map berisi banyak sekali kertas. Seperti yang lainnya, ia juga hendak melamar pekerjaan.

”Bismillahirrohmanirohim..” Utuy memulai langkahnya dengan yakin.

Hari itu, sebuah acara bursa kerja di bilangan Jakarta berlangsung ramai. Bukan main banyaknya para pengangguran. Background mereka macam-macam. Ada yang insinyur, ekonom, akuntan, hukum, komputer dll.

Emangnya Utuy ingin melamar kerja apa?

Utuy sendiri tidak tahu mau melamar pekerjaan apa. Memang yang hadir di sini tergolong perusahaan-perusahaan besar. Sehingga tidak ada satu pun lowongan yang berisi: ”Dicari…seorang yang tidak tamat sekolah dasar. Tidak kenal bahasa Inggris. Hobi menggembel di jalan. Berkepribadian konyol. Anda Berminat? Segera Hubungi HRD kami. Insentif: gaji setingkat direktur, tunjangan keluarga, tunjangan pendidikan, tunjangan plesiran, tunjangan transportasi, dan mobil dinas beserta supir dan seperangkat alat sholat (dibayar tunai?).”

Jelas lowongan itu memenuhi klasifikasi Utuy.

Di sampingnya berjejer ribuan robot bergelar sarjana. Bahkan ada juga beberapa yang master. Mereka berbaris, menunggu ditekan tombol ”on”-nya oleh perusahaan-perusahaan korporasi itu. Sementara Utuy masih asyik membiarkan matanya terus mengamati setiap detail dari gedung tersebut. Katanya, gedung ini adalah salah satu pabrik robot paling bagus di Indonesia. Dalam seharinya, pabrik itu bisa menghasilkan ratusan robot dengan IPK cumlaude, pandai berorganisasi, berjiwa profesional dan yang paling penting adalah bisa dijadikan babu.

Sedari berangkat dari condominium, Utuy memang sadar, kalau ia tak mungkin mendapat pekerjaan di sini. Persmasalahannya, ia tidak akan pernah bisa lolos pada tahap pertama: seleksi administratif. Latar belakang pendidikannya terlalu suram. Skill-nya juga terlalu ngawur. Terus, sebenarnya Utuy mau ngapain sih di sana?
Setelah selesai melihat seluruh detail, maka Utuy memberanikan diri bertanya-tanya ke dalam gedung. Ia loncat dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Meski tertera jelas persyaratan berbunyi ”sarjana, IP, berpengalaman di bidangnya minimal… dll”, Utuy tetap saja nekat memasukkan berkas.

Selagi sibuk memasukkan berkas ke ”tong sampah”, Utuy mendengar bisik-bisik di antara para pelamar. ”Eh, ini lho gajinya sedikit”. ”Eh, ini lho insentifnya sedikit”. ”Eh, ini lho kerjanya berat, kayak kerja rodi”. ”Eh, ini lho kerjanya pindah-pindah, nggak tetap”. ”Eh, ini lho jenjang karirnya seret..”. dan segala pembicaraan lainnya. Memang wajar sih, manusia disertai perasaan ingin meraih yang lebih baik. Meskipun ia telah mendapatkan yang terbaik, ia tetap ingin yang lebih baik lagi. Begitu terus, sampai tubuhnya berkalang tanah, manusia baru berhenti menuntut. Utuy sempat pula memperhatikan secuplik pembicaraan antar para penganggur ini.

”Gimana? Jadi ngelamar?” tanya seorang lelaki berpakaian rapih.
”Yang mana?”
”Itu lho, perusahaan yang iklannya di TV selalu gede-gedean itu. Kayaknya di sana gajinya besar deh,”
”Berapa?”
”Denger-denger sih sudah dua digit”
”Maksudnya?”
”Pertama masuk, gajinya langsung belasan juta. Nanti kalau sudah lima tahun bekerja, gajinya sudah di atas 50 juta per bulan”
”Apa benar?”
”Iya, benar! Saya punya teman di sana. Sekarang hidupnya makmur,”

Utuy ketawa saja mendengar percakapan begitu. Kalau orang berpikir dengan gaji sebesar itu kebahagiaan bisa dibeli, ya itu sah-sah saja. Tapi Utuy, diam-diam begini, gajinya juga sudah dua digit. Bahkan hitungannya bukan lagi per bulan atau per tahun, tapi sudah per hari dan per minggu, seperti gaji para pemain bola. Setiap harinya Utuy bisa menghasilkan uang senilai belasan sampai puluhan…ribu rupiah. Dua digit kan?
Sebagai seorang yang pernah menjadi CEO dari sebuah multinasional kompeni bernama Gembel Inc., yang kemudian bangkrut sehari setelah peresmiannya itu, Utuy jelas berpengalaman dalam dunia lapangan pekerjaan. Hanya saja, Utuy ke sini bukan mencari sumber kemakmuran. Kalau bekerja hanya untuk mencari kemakmuran, itu mengibaratkan manusia seperti binatang buas yang rakus. Persis seperti orang-orang Eropa ketika datang menjajah Asia untuk mencari kemakmuran. Pertamanya mereka memang menuju pada kemakmuran itu, namun karena tabiat kerakusan manusia, kemakmuran itu tidak mencapai titik kepuasan dan mulai merampas hak-hak orang lain untuk menambah nilai kemakmuran itu sampai pada titik tak terbatas.
Ya, begitulah manusia. Oleh sebab itu malaikat agak heran ketika Allah memberikan manusia hak-hak istimewa dalam pengelolaan segala sesuatu yang ada di bumi. Itulah tabiatnya: rakus. Namun manusia juga dianugerahi akal dan hati. Mereka berdua ini yang akan menjadi benteng pertahanan dari sifat kerasukan.
Hari itu, Utuy lebih senang melihat-lihat suasana. Sedari awal ia sudah sadar, mana ada kompeni yang mau menerima karyawan seperti dia. Bisa-bisa setiap hari Utuy memprovokatori para buruh untuk berdemo. Apa saja bisa dijadikan isu perdemoan. Mulai dari jam kerja yang gila-gilaan, keselamatan pekerjaan yang minim, jaminan hidup yang pas-pasan dll. Maklum, Utuy juga manusia. Ia ingin yang lebih baik asalkan tidak rakus.
Pengalaman sebelumnya, Utuy dikeluarkan dari kompeni sebelum menandatangani kontrak dengan pihak kompeni, sebab Utuy telah terlebih dahulu –secara diam-diam- menandatangani kontrak dengan serikat pekerja setempat. Konon nama Utuy sudah masyhur di kalangan pergerakan buruh. Ia dikenal sebagai kompor yang gampang disulut dan gampang meledak. Setelah kompeni mengetahui, Utuy langsung diusir satpam. Ia pulang dan kembali menjadi gembel.
Tapi begitulah Utuy.

Utuy kemudian keluar gedung ”robot” tadi. Tangannya masih hampa. Dan berlembar-lembar berkas yang dibawa Utuy dalam sebuah map itu sebenarnya hanyalah kertas-kertas tanpa makna yang ia pungut dari tong sampah di sekitar komplek condominium Gembel Makmur Group yang terkenal elit itu.

Dalam perjalanan pulang Utuy teringat bahwa mencari pekerjaan adalah hal yang wajib dalam Islam. Bahkan Islam pun melarang orang untuk menjadi pengemis atau peminta-minta. Oleh sebab itu, Utuy lebih memilih berpanas-panasan kerja serabutan, ketimbang harus membuat anggota tubuh terlihat cacat lalu duduk di pinggir jalan dengan muka memelas.

Di sela itu, Utuy juga berkhidmat. Apakah bekerja itu ”hanya” bertujuan untuk mencari kemakmuran? Memangnya, siapa yang ingin kita saingi kemakmurannya? Tetangga kita? Kawan sejawat kita? Atau siapa? Apakah orang-orang itu tidak khawatir dengan tabiat manusia yang rakus.

Dalam sebuah tembang yang Utuy lantunkan untuk menghibur saudaranya sesama penumpang, Utuy tersenyum manis membayangkan, ”Mungkin tidak semua menyukai pekerjaan ini. Tapi aku bahagia melakukan ini. Dan aku telah makmur!”. sekali lagi, dengan bergaya ala ustadz yang sedang bermuhasabah, Utuy menggambarkan bahwa hidup yang paling penting adalah yang penuh dengan kemakmuran jiwa, kesejahteraan hati, dan kesehatan akal pikiran. Ia selalu menghindari keindahan-keindahan lahiriah. Keindahan yang hanya sedap dipandang mata, tapi tak punya makna apa-apa.

Setelah menyanyi satu album, Utuy duduk di kursi belakang, dekat kondektur. Lalu penumpang yang berada di sisinya memperhatikan penampilan Utuy dengan serius.

”Abang, habis dari mana kok pakaiannya rapih?” tanya seorang bapak
”Habis melamar pekerjaan Pak”
”Wah, pasti pekerjaannya sangat menjanjikan ya Bang. Buktinya Abang dandanannya sudah seperti direktur saja. Kalau boleh tahu, ngelamar jadi apa Bang?”
Dengan sedikit membusungkan dada, Utuy menjawab,”Gembel…hehehe”

Sang bapak yang tadinya heran, sebab baru kali ini ia melihat seorang pengamen berpakaian necis, akhirnya melepaskan tawa dengan amat gembira. Tawa mereka tiba-tiba saja menghapus segala pahit getir kehidupan dalam benak mereka. Sepertinya, itulah yang dimaksud Utuy dengan kemakmuran. []

***
 from: http://www.undergroundtauhid.com/abang-kerja-apa-saya-gembel-pak/

0 komentar:

Posting Komentar