Toleransi: Mayoritas dan Minoritas
Kamis, 21 Juni 2012
0
komentar
Haji Yunus Mailibit, Imam
Masjid An-Nuur menceritakan bahwa pada awalnya masyarakat Islam saja
yang tinggal di Pulau Arar. Meraka berasal dari suku-suku Raja Ampat,
Ternate, dan Biak. Untuk mendorong saudara-saudara yang beragama Kristen
mendiami pulau itu, maka masyarakat Islam membangunkan gereja untuk
mereka. Hal ini dibenarkan oleh Ketua Majelis Gereja Pieter Kami, suku
Moi juga, dan Pendeta Marghareta Felis.
(http://www.pgi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=326:oase-kerukunan-islam-kristen-di-indonesia&catid=97:artikel-a-kajian)
Anehnya, berbagai pihak masih saja memberikan
gambaran buruk tentang toleransi beragama di Indonesia, dengan cara
mengangkat kasus-kasus konflik keagamaan. Dalam masyarakat yang plural,
perbedaan dan kadangkala konflik tentunya biasa terjadi. Tetapi tidak
sepatutnya, kasus-kasus itu diangkat secara berlebihan sehingga
menghilangkan gambar besar kerukunan umat beragama di Indonesia.
Kasus-kasus tentang rumah ibadat biasa terjadi di berbagai daerah dan
negara.
Jika tidak proporsional dalam mengangkat
masalah, maka masyarakat internasional akan kehilangan gambaran yang
sebenarnya terhadap toleransi beragama di Indonesia. Prof. Bilver Singh,
dari Singapore Nasional University, pernah mengekspose data yang
membalik opini masyarakat internasional tentang kondisi keagamaan di
Timor Timur.
Seperti dikutip Adian Husaini, Singh
menyimpulkan bahwa selama Timor Timur menjadi bagian NKRI yang terjadi
adalah Katolikisasi, bukan Islamisasi! Ternyata, selama 22 tahun sejak
1972-1994, jumlah pengikut Katolik di Timtim meningkat 356,3%, yaitu
dari 27,8% menjadi 92,3%. Padahal, Portugis saja selama 450 tahun
menjajah Timtim hanya mampu mengkatolikkan 27,8% orang Timtim. Adian
menambahkan bahwa pertumbuhan pengikut Katolik itu di barengi dengan
peningkatan pendirian Gereja di Timtim yang berkembang lebih cepat
dibanding wilayah lain mana pun di dunia.
(http://adianhusaini.com/index.php?option=com_content&view=article&id=71:umat-islam-tidak-toleran&catid=38:artikel&Itemid=53).
Lebih
lanjut, Menteri Agama Suryadharma Ali pada 24/4/11 menjelaskan
“Berdasarkan data statistik fakta di lapangan, justru tingkat
pertumbuhan Gereja jauh lebih besar di banding Masjid. Dalam kurun waktu
1997 hingga 2004, pertumbuhan rumah ibadah Kristen sebesar 150 persen,
Budha 360 persen, dan Hindu 400 persen. Sedangkan tingkat pertumbuhan
rumah ibadah umat Islam hanya sebesar 64 persen.”
(http://www.suara-islam.com/news/berita/nasional/2578-pertumbuhan-masjid-paling-kecil-dibanding-rumah-ibadah-lain).
Potret lain
Awal Juni 2012 lalu, penulis melakukan perjalanan ke beberapa daerah di NTT untuk kegiatan workshop dan seminar. Di daerah minoritas Muslim ini, seperti diceritakan sejumlah tokoh Muslim, toleransi warga mayoritas sudah mulai terbangun dan ada beberapa peningkatan. Misalnya, diberikannya hak pelajaran agama Islam bagi siswa muslim di sekolah-sekolah negeri. Di samping itu pembauran dan interaksi sosial juga terbina dengan baik. Hal ini diperkuat lagi menjelang musim pilkada, di mana para kontestan non muslim kerap bersilaturahmi kepada komunitas muslim untuk mencari dukungan suara. Kompensasinya mereka akan lebih memperhatikan kepentingan umat Islam.
Potret lain
Awal Juni 2012 lalu, penulis melakukan perjalanan ke beberapa daerah di NTT untuk kegiatan workshop dan seminar. Di daerah minoritas Muslim ini, seperti diceritakan sejumlah tokoh Muslim, toleransi warga mayoritas sudah mulai terbangun dan ada beberapa peningkatan. Misalnya, diberikannya hak pelajaran agama Islam bagi siswa muslim di sekolah-sekolah negeri. Di samping itu pembauran dan interaksi sosial juga terbina dengan baik. Hal ini diperkuat lagi menjelang musim pilkada, di mana para kontestan non muslim kerap bersilaturahmi kepada komunitas muslim untuk mencari dukungan suara. Kompensasinya mereka akan lebih memperhatikan kepentingan umat Islam.
Namun
demikian, tak dipungkiri, adanya beberapa kasus diskriminasi yang
menimpa umat Islam. Inilah yang, misalnya, dialami warga pulau Kera
yang hidup jauh dari standar kepatutan. Pulau kecil seluas 1,5 km
persegi ini terletak persis ditengah-tengah pintu masuk kota Kupang
dengan jarak tempuh sekitar 45 menit dengan menggunakan perahu motor.
Pulau ini dihuni sejak 1919 dan saat ini warganya mencapai kurang lebih
78 kk (315 jiwa). Saat mengungjungi pulau ini, penulis melihat begitu
sangat tidak memadainya kondisi kehidupan mereka. Mereka hidup di
gubuk-gubuk reyot; tidak ada layanan pendidikan, kesehatan, air bersih,
apalagi listrik. Pada musim hujan, ombak dan angin, mereka didera
kelaparan karena akses keluar pulau sangat beresiko.
Kondisi
ini diperparah lagi dengan tidak adanya pengakuan kependudukan dari
pemerintah daerah setempat, sehingga mayoritas warga tidak memiliki KTP.
Akibatnya, hal ini sangat menyulitkan warga pulau Kera yang berasal
dari suku Bajo, Sulawesi Tenggara ini untuk mengurusi segala hal yang
berkaitan dengan pemerintahan, seperti pengurusan pernikahan, akte
kelahiran, jaminan kesehatan masyarakat (JAMKESMAS), dll. Itulah “museum
hidup” derita warga pulau Kera. Anehnya, menjelang pilkada biasanya ada
yang membujuk mereka untuk memberikan suaranya kepada salah satu calon
dengan tumpukan berbagai janji. Namun hingga saat penulis datang ke
daerah itu, kondisi mereka masih sangat memilukan.
Kasus-kasus
individual juga kadang terjadi. Sumber-sumber dari kalangan tokoh
Muslim menceritakan, bahwa beberapa waktu lalu warga muslim berencana
mendirikan Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) di Oebobo, kota Kupang.
Namun dengan alasan tertentu, ijin pendirian SDIT tidak diperoleh,
akhirnya gedung yang sudah dipersiapkan digunakan untuk lokasi Taman
Kanak-kanak. Sebuah kasus juga pernah dialami siswi sebuah SMA di
Kupang. Ketika ada acara pengambilan foto untuk pembuatan kartu siswa,
siswi tersebut diminta melepaskan jilbab dengan alasan kebijakan
sekolah.
Dalam masalah pembuatan KTP elektrik
(e-KTP), seorang muslimah juga diminta membuka jilbab saat difoto.
Muslimah ini lebih memilih pulang dan urung membuat KTP daripada harus
buka jilbab. Insiden ini terjadi di kecamatan Maulafa. Suaminya kemudian
melaporkan ke MUI Kupang. Alhamdulillah, setelah dilakukan pendekatan,
kasus ini selesai dan Muslimah diijinkan membuat KTP dengan tetap
memakai jilbab.
“Yang membuat kami resah di sini
jika TV-TV nasional memberitakan kasus-kasus yang menimpa beberapa
gereja di Jawa,” kata seorang dai yang sudah sejak 1965 bertugas di di
NTT. Bapak berusia 70 tahun ini becerita, saat terjadi kasus
penyerangan Gereja di Temanggung, misalnya, sudah beredar SMS bahwa aka
nada penyerbuan-penyerbuan masjid di Kupang. Akibatnya, masyarakat,
polisi, dan juga beberapa pemuka agama Kristen berjaga-jaga dan berusaha
menenangkan situasi.
Kasus demi kasus akan selalu terjadi. Sebab, Indonesia adalah negara plural. Akan tetapi, seperti diimbau oleh KH Hasyim Muzadi, seyogyanya, kasus-kasus itu diselesaikan secara internal. (***)
Kasus demi kasus akan selalu terjadi. Sebab, Indonesia adalah negara plural. Akan tetapi, seperti diimbau oleh KH Hasyim Muzadi, seyogyanya, kasus-kasus itu diselesaikan secara internal. (***)
0 komentar:
Posting Komentar