Belajar islam pun bisa dari pendakian gunung
Selasa, 14 Mei 2013
0
komentar
“Belajar islam pun bisa dari pendakian gunung”
Read: bilal revolusi
04 maret 2013,
Abang Syarif pernah berkata kepada saya sewaktu mendaki gunung salahutu: “kekuatan kelompok pendaki, ditentukan oleh kekuatan orang yang terlemah dari kelompoknya” Waktu itu saya menengkap kekuatan kata-katanya dengan sangat jernih. Saya menyimpulkan bahwa, seandainya kekuatan kelompok di tentukan oleh kekuatan personil yang paling cepat mendaki, maka pendakian tersebut akan mengalami kekagagalan, banyak personil yang mengalami kematian di gunung, banyak personil yang akhirnya tersesat dan berminggu-minggu menghilang di atas gunung. Maka, kekuatan personil terletak pada kekuatan personil yang paling lemah dari kelompoknya.
Bila kerangka
semacam mendaki gunung yang dikemukakan oleh Abang Syarif kita giring dalam
konteks keagamaan. Maka sudah saatnya para cerdik dan ulama sepatutnya
menyadari bahwa, kekuatan islam terpengaruhi oleh kekuatan muslim yang paling
lemah imannya, sudah saatnya muslim yang baik imannya menjadi pelita bagi
muslim yang lemah imannya. Tempat Tanya jawab yang pas untuk memecahkan
belenggu masalah yang selalu merantai hidupnya.
Tugas, muslim
yang baik agamanya adalah merubah pribadinya dan orang disekitarnya untuk
menjadi seorang muslim yang baik imannya, bukan hanya menunggu orang lain
datang dan setelah itu merubah mereka. Tidak. Pendakian gunung salahutu
mengajarkan saya satu sikap yang dasyat. Sebuah motivasi untuk mendaki kepuncak
tidak dimotivasi [demotivasi] oleh mereka yang telah sampai terlebih dahulu,
melainkan dimotivasi oleh individu yang berjalan bersama dan selalu menuntun
saya untuk sampai hingga di puncak gunung tersebut. Nyatanya hari ini, kondisi
semacam inilah yang dihadapi oleh masyarakat islam manyoritas di Indonesia. Bayak
individu yang beragama islam, yang KTP-nya islam namun mabuk, judi, tetap berzina, dan juga mencuri. Mereka
sebenarnya membutuhkan teman pendakian yang baik yang memberikan arahan untuk bisa
sampai kepuncak perubahan hidup yang lebih baik. Sayangnya, egoisme kita yang baik
inilah yang terkadang membuat personil islam yang lain akhirnya tewas dan belum
sempat mencapai puncak gunung.
Membuka
diri untuk melangkah.
Saya seolah
menemukan islam, berkat interaksi dengan berbagai orang yang memiliki
pengatahuan islam yang lebih dibandingkan saya yang pengetahuan islamnya hanya
secuil. Saya nggak pandai baca Al qur’an, maka saat saya disentil oleh seorang
novelis ambon:
“masa, kita
bisa membaca berhalaman-halaman buku, tapi al qur’an satu barispun tidak disentuh
sih?”
Mendengar sentilan rohani semacam itu, menyadarkan saya untuk kembali
belajar mambaca Al qur’an. Kembali membacanya secara rutin sebelum tidur dan
setelah sholat subuh. Adalagi kisah yang lain yang membuat saya perlu untuk
berbenah diri, yakni saat pendakian salahutu, tanpa saya sadari, saya melihat
sebuah Al qur’an yang dibawa dalam sebuah tas, saya lupa tas siapa itu! namun
yang pasti, pendakian tersebut banyak membawa saya pada satu model yang unik.
Selain al
qur’an. Pelajaran yang bisa saya petik dari mendaki adalah spirit untuk terus
sholat dimana pun kita berada. Bila waktu sholat telah tiba, maka rapat dan
luruskan sahf-sahf. Ini adalah hal yang paling penting dari sebuah pendakian,
yakni tetap konsisten untuk mengarjakan sholat, tak perduli dengan letih,
gelap, ataupun dinginnya atas gunung—sholat tetap ditegapkan
Saya
mengaggap pendakian kita kepuncak salahutu mereupakan perjalanan rohani yang
baik, yang mengajarkan saya untuk terus keras dengan ibadah dan
tolong-monolong, solodaritas dan berbagi. Hal-hal semacam ini adalah bagain
dari islam, ibadah, tolong-menolong, solidaritas dan berbagi. Inilah yang dalam
sejarah manusia, mongol yang membunuh [menaklukan islam] akhirnya satu persatu
mereka dari merekapun masuk dalam islam.
Dan untuk
menutup lembaran ini, saya ingin mengutip perkataan terhadap islam yang damai
ini, yang indah ini dan tak tergantikan:
“Al islamu
akhlakun” []

0 komentar:
Posting Komentar