expedisi suku polahi gorontalo

Posted by bilal Rabu, 12 Desember 2012 0 komentar
expedisi suku polahi gorontalo

jauh di pedalaman hutan Boliyohuto Gorontalo hidup beberapa kelompok masyarakat nomaden yang lebih di kenal dengan sebutan Suku Polahi.
 Suku Polahi ini bahkan jauh lebih tertinggal daripada suku suku yang masih dianggap primitive lainnya di Indonesia. Rata rata suku primitive yang lain setidaknya sudah mulai hidup menetap dan mulai terbuka dengan kehidupan luar.

Suku Polahi ini memiliki pola hidup berpindah pindah (Nomaden) dari satu hutan ke hutan yang lain. Mereka juga belum mengenal pakaian, agama bahkan mereka juga tak mengenal hari.

Dalam kesehariannya mereka menghabiskan seluruh waktu mereka di dalam hutan dengan hanya mengandalkan gubuk kecil beratapkan dedaunan tanpa dinding sebagai tempat peristirahatan sementara mereka.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka biasanya berburu babi hutan. Rusa dan ular. Selain itu mereka juga mengkonsumsi dedaunan, umbi umbian dan akar rotan sebagai makanan sehari hari. Untuk memasak mereka menggunakan batang bamboo sebagai wadah. Cara memasaknya juga amat sangat sederhana yaitu dengan memasukkan semua bahan makanan kedalam lubang bambu lalu membakarnya diatas perapian hingga batang bamboo tadi retak atau pecah sebagai tanda bahwa makanan telah selesai di masak. Makanan tersebut 100% asli tanpa bumbu apapun karena mereka juga belum mengenal bumbu bumbuan.

Hal unik lainnya dari suku polahi adalah cara berpakaian. Kalau kita mengenal beberapa suku di papua menggunakan Koteka sebagai penutup aurat, maka Suku Polahi lebih memilih menggunakan cawat yang mereka buat dari daun yang diikat menggunaan tali dari kuit kayu. Cawat ini juga digunakan oleh kaum perempuan. Mereka belum mengenal penutup dada alias Bra. Jadi kaum perempuan Suku Polahi dalam kesehariannya adalah Toples alias setengah bugil.

Yang paling unik dari suku ini adalah system perkawinan. Mereka mungkin satu satunya Suku di Indonesia yang menganut perkawinan sedarah, dimana jika satu keluarga memiliki anak laki laki dan perempuan maka mereka otomatis akan di nikahkan dengan saudaranya tersebut. Jadi anak anak mereka sekaligus menjadi menantu mereka. Bahkan sang ibu bisa menikahi anak lelakinya dan sang ayah bisa menikahi anak perempuannya.

Kalau kita melihat langsung kehidupan masyarakat Polahi di Gorontalo, maka mungkin kita akan mengambil kesimpulan bahwa inilah masyarakat yang paling terasing, tidak pernah bersentuhan dengan peradaban modern, apalagi diberdayakan oleh pemerintah, karena masyarakat ini memang benar-benar primitif.
Telah banyak peneliti-peneliti sosial yang khususnya berkecimpung di pemberdayaan masyarakat terasing, tapi penulis bisa menjamin, tidak ada satu pun yang terjun langsung ke masyarakat Polahi. Kita tidak tahu alasannya, tapi yang bisa diterima secara akal sehat bahwa mereka memang belum mendapatkan informasi tentang masyarakat Polahi ini.

Sejarah Polahi

Menurut cerita, polahi  adalah masyarakat pelarian zaman dahulu yang melakukan eksodus ke hutan karena takut dan tidak mau dijajah oleh Belanda sehingga menjadikan mereka sebagai suku terasing sampai dengan saat ini.

Suku Polahi ini tinggal di hutan gunung Boliyohuto Kabupaten Gorontalo kendati demikian sangat sukar bagi kita  untuk menjumpai mereka. Ini dikarenaka polahi sulit menerima kehadiran orang luar sekalipun sesama warga Gorontalo.  Sikap antisosial ini lebih disebabkan trauma masa lampau .

Ini pula yang menyebabkan mengapa literatur yang mengangkat penelitian mengenai masyarakat polahi masih jarang dijumpai.

Jika menelusuri sejarah perjuangan rakyat Gorontalo dalam mengusir penjajah, ternyata terdapat benang merah yang dapat ditarik untuk mengetahui bagaimana suku polahi pertama kali muncul. Pemerhati sejarah Gorontalo muhtar uno dalam hasil studi  yang dipublikasikan  secara online dapat dilihat bahwa masyarakat Gorontalo adalah masyarakat yang memiliki jiwa patriotisme yang sangat tinggi sehingga mereka rela mengasingkan diri  dihutan dengan alasan menolak kerja paksa dan tuntutan membayar pajak kepada kompeni.

Secara terperinci ia memaparkan bahwa perlawanan rakyat Gorontalo terhadap kaum penjajah sudah dimulai sejak Raja Eyato menjadi raja di Gorontalo pada tahun 1673 sampai 1679 Masehi.

Kala itu Raja Eyato berusaha meng-halang-halangi belanda  mendarat di Gorontalo dengan membakar perahu-perahu mereka dan tidak mengizinkan pasukan belanda untuk mengambil air minum di muara sungai bone. Hanya karena kelicikan belanda dengan berpura-pura mengajak berunding yang menyebabkan perlawanan rakyat terhenti karena Eyato ditangkap dan diasingkan.  Kendati demikian perjuangan tidak terputus karena penerusnya raja Biya dengan gigih menentang kehadiran orang asing yang ingin merampas kekayaan alam milik penduduk pribumi.

Akhirnya setelah sekian lamanya bertempur menentang Belanda, Raja Biya bersama anak buahnya ditangkap belanda tahun 1690 dan raja Biya diasingkan ke Seylon dan pengikutnya Isnaeni di buang ke Afrika selatan.  Sedangkan dua pendekar lainnya Apitalau dan Ilato mengihilang entah kemana,sehingga ia berkesimpulan, Apitalau dan Ilato bersama seluruh prajuritnya melarikan diri ke hutan kemudian menjadi polahi.

Untuk membuktikan pendapatnya itu hal itu muhtar uno sempat menyaksikan sendiri benda-benda yang diperlihatkan seseorang kepadanya dimana benda-bendat tersebut diberikan oleh bekas polahi.  Tiga macam benda itu adalah azimat, keris, dan tembaga yang berbentuk kubus dengan panjang rusuk 5 centimeter dan pada salah satu sisi kubus tertulis dengan huruf timbul VOC dan tahun 1690 sehingga bukan tidak mungkin benda tersebut merupakan benda yang diwariskan secara turun temurun oleh Prajurit Raja Biya yang melarikan diri ke hutan karena benda tersebut diberikan oleh orang yang dulunya adalah polahi.

Terlepas dari itu semua yang pasti adalah suku polahi ini ada karena mereka tidak meng-inginkan hidup dalam kungkungan penjajahan.  Karena itulah mereka disebut sebagai Polahi  yaitu dari bahasa Gorontalo yang berarti pelarian. Kehidupan mereka sangat jauh dari peradaban modern, mereka tinggal dibawah bebatuan atau gua, di pondok bahkan diatas pohon –
Suku terasing polahi didalam hutan umumnya mereka hidup berpencar dalam kelompok-kelompok kecil.  Mereka terdapat di hutan di Kecamatan Paguyaman, Boliyohuto dan Suwawa. Departemen Sosial Kabupaten Gorontalo telah meng-identifikasi masyarakat polahi dengan kelompok 9, kelompok 18, kelompok 21 atau kelompok 70 berdasarkan jumlah anggota kelompok dalam satu kampung.  Mereka hidup bercocok tanam, berburu babi hutan dan belum mengenal pakaian dan hanya mengenakan penutup syahwat dari daun palma dan kulit kayu.  Rumah mereka sederhana, tidak berdinding dan untuk mencapai ke lokasi perkampungan polahi harus menempuh perjalanan kaki selama tujuh jam.  Kehidupan primitif tergambar pula pada hubungan sedarah dimana hubungan dapat terjadi antara ayah dengan anak perempuannya, atau ibu dengan anak laki-lakinya bahkan antar seseama saudara kandung.

Jelas bahwa budaya ini sangat bertentangan  dengan ajaran agama bahkan sangat dilarang karena dalam Islam dikenal konsep muhrim yang mengatur hubungan sosial antara individu yang masih terhitung dalam kekerabatan.   Penelitian menunjukan bahwa hubungan sumbang ini berpotensi tinggi menghasilkan keturunan yang secara biologis lemah baik fisik maupun mental.  Kondisi tersebut terjadi karena keterbelakangan  tidak hanya karena keterpencilan melainkan tidak tersentuh yang namanya pendidikan bahkan dalam kebudayaan mereka  tidak dikenal hitung menghitung dan nama-nama hari.   Angka maksimum yang dapat mereka hitung adalah empat selebihnya adalah banyak.

*** 
from: gorongtalotravel

0 komentar:

Posting Komentar