Cinta di Ujung Senja

Posted by bilal Selasa, 29 Mei 2012 0 komentar

 Cerpen Irwan Kelana (Republika, 1 April 2012)


SEJAK awal aku sebetulnya tidak mau datang ke acara reuni ini. Apalagi ketika Muhsin, kawan karibku sewaktu di aliyah dulu, mengatakan bahwa Dini akan datang.


Tapi, Bu Yetty, guru yang paling mengerti tentang diriku, dan kepadanya aku dan Dini sering curhat, memaksaku. “Ilham, datang ya. Ibu kangen sama kamu. Sudah lima belas tahun nggak ketemu,” ucapnya di telepon minggu lalu.

“Datang ya, Il, ada kejutan buat kamu, lho,” Inu sang ketua panitia reuni membujukku lewat SMS.
Sejujurnya, aku juga kangen bertemu teman-teman dan guru-guru. Lima belas tahun bukan waktu yang singkat. Mungkin mereka semua sudah menikah dan punya anak. Boleh jadi juga sudah banyak yang perutnya gendut.

Namun, aku merasa tidak siap untuk bertemu Dini. Aku tak mau hatiku terluka kembali mana kala melihat sosoknya. Ya, Dini adalah gadis pujaanku saat di aliyah dulu. Gadis Jawa itu begitu lembut dan anggun dengan bulu mata lentik dan sorot mata teduh yang selalu mampu menenangkan hatiku. Kerudung putih membuat wajahnya bertambah cantik. Posturnya semampai dalam balutan baju panjang dan rok panjang abu-abu.

Kami sering shalat dhuha dan membaca Alquran bersama di mushala sekolah. Tiap ada acara pengajian, aku dan dia selalu duduk di baris paling depan. Kami pernah merajut cita-cita untuk membina keluarga yang saleh. Aku akan memanggilnya “Ummi” dan ia memanggilku “Abi”. Dan, rumah kami setiap hari akan diramaikan oleh tingkah polah anak-anak yang ceria.

Lulus aliyah, aku berhasil mendapatkan beasiswa ke Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, sedangkan Dini melanjutkan kuliah ke UIN Jakarta. Kami berjanji akan tetap menjaga cita-cita tersebut dan akan mewujudkannya sepulangnya aku dari Mesir.

Namun, baru dua tahun aku menuntut ilmu di Negeri Seribu Menara itu, cita-cita tersebut kandas. Ayah Dini sakit keras, dan permintaannya sebelum dia meninggal adalah dia ingin agar Dini menikah. Mereka menelepon aku. Tapi, tak mungkin aku pulang mendadak dan menikah dengannya. Akhirnya, Dini dinikahkan dengan seorang laki-laki yang katanya masih ada hubungan kerabat jauh.

Luka hatiku sangat perih. Rasanya tak percaya bahwa cinta bisa semudah itu diretas. Untuk melupakan Dini, aku memfokuskan perhatian hanya pada pelajaran. Aku berhasil lulus S-1 dengan predikat mumtaz (cum laude). Ketika ditawari beasiswa S-2, langsung saja aku ambil.

Hampir lima tahun, aku berhasil menggondol gelar MA, juga dengan yudisium mumtaz.
Aku belum berniat pulang meskipun orang tuaku berkali-kali mengirim surat minta agar aku kembali ke Tanah Air dulu, setelah itu boleh balik lagi ke Mesir. Aku mengambil beasiswa program S-3 dan menyelesaikan kuliah doktoral selama empat tahun.

Mungkin bisa dibilang patah arang, aku sudah membulatkan tekad tidak akan kembali ke Tanah Air. Namun, suatu hari, tepatnya dua tahun silam aku bertemu menteri agama dalam sebuah seminar keislaman internasional di Kairo, di mana aku turut menjadi panitia. Menteri mengajak aku kembali ke Tanah Air karena katanya keahlianku di bidang tafsir sangat diperlukan.

***
“Ilham, thanks lho udah mau datang,” sapaan Inu mengagetkanku.
“Hei, Ilham. Mana nyonya?” tanya Edy, kawan kami yang paling bandel. Aku menggeleng.
“Sekian tahun kau di Mesir. Masa sih gak ada satu pun cewek yang bisa kau gaet? Kalau tidak dapat gadis Mesir, gadis Indonesia pun tak apalah,” Pandu si playboy menimpali.
“Begitulah kenyataannya.”
Ssst! Nyonyanya sebentar lagi datang lho,” kata Inu.
“Maksudmu?” tanya Edy dan Pandu bersamaan.
“Ada deh. Tunggu aja,” sahut Inu sambil tersenyum.
Satu per satu rekan-rekan seangkatanku tiba di tempat acara, sebuah restoran kebun yang terletak di Jalan Margonda Raya, Depok. Beberapa orang guru juga datang, termasuk Bu Yetty.
“Eh, Ilham, ibu kangen banget sama kamu.”
“Saya juga kangen sama Ibu,” aku mencium tangannya.
“Ada seseorang yang sangat merindukanmu. Sebentar lagi juga dia sampai di sini.”
“Siapa, Bu?” tanyaku walaupun aku sudah bisa meraba ke mana arah pembicaraan Bu Yetty.
“Dini.”
“Dini?” Masih juga aku terkejut, meski aku menebak nama itulah yang akan diucapkan oleh Bu Yetty.
“Iya, Dini. Dia sudah menjanda, lho. Lima tahun lalu. Suaminya meninggal karena kecelakaan pesawat. Mereka tak punya anak. Dini janji sama Ibu, dia akan datang ke acara reuni ini.”

Hatiku tiba-tiba seperti bunga mati yang mekar kembali. Dini! Ah, calon ibu anakanakku itu, masihkah dia seperti dulu: selalu senyum dikulum dan suaranya selalu mampu menenangkan kegundahan hatiku.
Sudah hampir pukul 12.00 siang, namun Dini belum juga tiba.

“Tenang, Il, sebentar lagi juga dia datang. Dia langsung dari bandara. Ada acara di Bali,” Inu seperti mengerti kegalauan hatiku.

Ketika sebuah SMS masuk ke HP-nya, Inu segera menyodorkannya kepadaku, “In, aku udah di taksi. Kira-kira satu jam lagi nyampe di tempat acara. Dini.”

Namun, hingga pukul satu, Dini belum juga sampai. Ditunggu hingga pukul dua siang, juga tidak ada kabar berita.

Pukul tiga sore HP Inu berbunyi. Setelah berbicara sejenak, wajahnya langsung pucat pasi.
“Ada apa, Inu?” tanyaku dan beberapa kawan serempak.

“Dini tabrakan… sekarang di UGD… tadi petugas mendapatkan nomorku dari HP-nya Dini,” suara Inu terbata-bata.
***
Sepanjang malam aku menunggui Dini. Berharap ada keajaiban. Kepala Dini diperban dan di tangannya terselip selang infus. Ia mengalami pendarahan yang sangat parah. “Ya Allah, jangan Engkau biarkan aku kehilangan Dini untuk kedua kali,” bisikku dalam hati.

Pukul dua dini hari, ibu dan adik Dini, Dinda, tertidur sambil duduk di bangku. Aku berwudhu, lalu shalat hajat dan tahajud.

Aku teringat kisah tiga pemuda Kahfi saat mereka terkurung dalam gua. Masing-masing berdoa menyebut kebaikan mereka. Dan, tiap kali satu orang menyebutkan kebaikan yang pernah dilakukannya, batu penutup gua bergeser sedikit. Sampai akhirnya, pintu gua itu terbuka dan mereka dapat keluar dari dalam gua.
“Ya Allah, aku pernah memberikan seluruh tabunganku kepada seorang sahabatku yang akan menikah di Mesir dulu. Jika hal tersebut merupakan amal saleh yang Engkau terima, tolong selamatkan dan sembuhkan Dini,” ucapku perlahan.
Azan Subuh terdengar dari masjid di luar sana. Tiba-tiba aku mendengar suara rintihan Dini. Lalu perlahan matanya sedikit terbuka. Ah, mata sendu itu! Mata yang selalu membuatku rindu menatapnya.
“Din,” aku berbisik di telinganya. Tanganku menggengam jemari tangan kirinya.
“Ilham,” suaranya terdengar parau.
“Ya, Din. Ini aku. Kamu akan sembuh dan kita akan mewujudkan mimpi kita. Membina keluarga bahagia, dengan 10 anak yang semuanya jadi penghafal Alquran.”
Bibirnya berusaha mengukir senyum, namun ia menggeleng lemah.
“Aku ingin shalat,” tuturnya lirih.
Aku segera membangunkan ibunya. Ia membantu Dini tayamum.
Matanya menatapku lembut seperti memberi isyarat. “Kamu mau shalat berjamaah, Din?” bisikku di telinganya.
Ia mengangguk dengan ekor matanya.
Aku segera berwudhu kembali, kemudian menjadi imam shalat. “Ya Tuhan, betapa lama aku merindukan hal ini: menjadi imam shalat bagi Dini dan kelak juga anak-anak kami.”
Selesai shalat, aku segera berdiri. Saat kupandang wajah Dini, matanya terpejam. Ia pingsan kembali.
Aku segera memanggil suster. Ia datang tergopoh-gopoh, lalu memeriksa keadaan Dini. Tiba-tiba, ia tampak tegang dan segera menelepon dokter. Dokter segera datang dan memeriksa detak jantung Dini.
“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanyaku tak sabar.
“Mari sama-sama kita berdoa, semoga Tuhan memberikan pertolongan kepadanya.”
“Maksud Dokter?”
“Terus terang, kondisinya memburuk, tapi kami akan berusaha semampu kami. Yang penting, teruslah berdoa mohon yang terbaik untuknya.”
Hatiku tercekat. Seperti ada feeling bahwa Dini akan pergi untuk selamanya.
Ternyata benar. Dini tak pernah sadarkan diri lagi. Kira-kira pukul delapan pagi ia mengembuskan napasnya yang terakhir.
Ia pergi tanpa sempat mengucapkan salam perpisahan. Kubelai rambut hitamnya dan kukecup keningnya. Wanita yang tak pernah kusentuh selama hidupnya.
***
Upacara pemakaman Dini dihadiri oleh para guru dan teman yang kemarin datang di acara reuni. Sebelumnya, aku diminta oleh pihak keluarga untuk menjadi imam shalat jenazah.
Allahummaghfirlaha warhamha waafihaa wafu anha…,” doaku begitu khusyuk.
Aku turun ke liang lahat dan mendekap jenazah Dini saat dimasukkan ke dalam kubur. Seusai penguburan, aku menanam dua batang kemboja di dua ujung makam itu.
“Il, kemarin waktu di taksi, Dini sempat telepon aku. Katanya, dia cinta Ilham dan mau datang ke acara reuni karena berharap dapat mengobati luka hati Ilham,” bisik Inu lirih.
Aku menggigit bibir, menahan agar tak ada air mata yang jatuh.
Menjelang pukul lima, acara pemakaman usai. Satu per satu pengantar jenazah meninggalkan pemakaman umum itu. Namun, aku masih duduk termangu di depan makam yang masih merah itu.
“Il, aku duluan ya,” kata Muhsin.
“Saya juga duluan ya, Il,” kata Inu.
Aku cuma mengangguk.
Tinggal aku berdua dengan ibu Dini.
“Maafkan ibu dan almarhum Bapak ya, Nak Ilham,” kata ibu Dini perlahan.
Aku meraih tangannya. “Tidak ada yang perlu dimaafkan, Bu. Jodoh, rezeki, maut, semua Allah yang punya. Kita hanya menjalani takdir yang telah Allah gariskan buat kita masing-masing ketika kita masih di dalam kandungan ibu kita, bahkan semuanya sudah tertulis di Lauhul Mahfuz.”
Air matanya tiba-tiba kembali menderas. Ia memelukku.
“Ikhlaskan Dini, Nak Ilham…,” bisiknya parau.
“Ya, Bu,” sahutku dengan suara bergetar.
Aku memegang bahunya. “Sebaiknya Ibu pulang duluan. Nanti saya menyusul.”
Ia mengangguk, lalu berlalu menghampiri Dinda, yang telah menunggu di gerbang makam.
Aku kembali bersimpuh di depan makam Dini. Aku membacakan surah al-Fatihah, al-Ikhlas, al-Falaq, An-Nas, ayat kursi, dan zikir serta doa untuk Dini. Seakan-akan ia mengaminkan doaku.
Aku terus berdoa dan berzikir sampai senja datang dan azan Maghrib terdengar. Kupandang makam itu seraya berbisik, “Din, aku shalat Maghrib dulu, ya.”
Seusai shalat di mushala terdekat, aku kembali menyambangi makam Dini. Kembali kukirimkan doa-doa terbaik untuknya.
Senja sudah sampai di ujungnya. Sekali lagi kutatap makam yang masih segar itu, di antara temaram bayang-bayang malam yang kian muram. Di dalamnya terbaring wanita yang kucintai, namun tak pernah bisa kumiliki.
“Din, beristrahatlah dengan damai, semoga Allah selalu menyayangimu di alam sana,” bisikku dengan suara tercekat.
Berat kakiku melangkah. Aku merasa separuh jiwaku ikut terkubur bersama jasad Dini. Sunyi membalut hatiku dan dukaku kian membatu. (*)
 .
.
Depok, 2012
Irwan Kelana, cerpenis, novelis, dan wartawan Republika, kelahiran Depok, Jawa Barat, 1 September 1965. Menggemari kegiatan tulis-menulis sejak SMA. Bukunya yang sudah terbit antara lain Kelopak Mawar Terakhir, Kemboja Terkulai di Pangkuan, Menata Jarak Hati, dan Masa Depan. Sejumlah cerpennya juga dimuat dalam antologi bersama.

***
from: http://lakonhidup.wordpress.com/2012/04/13/cinta-di-ujung-senja/

0 komentar:

Posting Komentar