Tamak Dunia: Sumber Kehancuran
Selasa, 11 Desember 2012
0
komentar
Tamak Dunia: Sumber Kehancuran
word: adian husaini
Dalam buku populernya “The Rise and Fall of the Great Powers”, Paul Kennedy menutup dengan bab “The United States: the Problem of Number One in Relative Decline”. Dalam buku ini, Kennedy memaparkan tanda-tanda kemunduran Amerika Serikat: Tahun 1985, utangnya sudah mencapai 1.823 milyar USD. Defisit neracanya 202,8 milyar USD. Tahun 2002 defisit neracanya diperkirakan telah mencapai lebih dari 400 miliar dolar AS. Dengan politik unilateralnya, ambisi kuasanya, beban yang ditanggung AS makin besar. Duit ditebar untuk menaklukkan negara-negara lain.
Tapi, bagaimana pun, untuk sementara ini, AS masih menjadi negara terkuat. Dalam kata-kata Paul Kennedy, “For
all its economic and perhaps military decline, it remains, in Pierre
Hassner’s world, “the decisive actor in every type of balance and issue…
because it has so much power for good or evil.”
Nabi Muhammad saw menunjukkan sebuah rumus kehancuran peradaban, dalam satu sabda beliau: "Hampir
tiba suatu masa dimana berbagai bangsa/kelompok mengeroyok kamu,
bagaikan orang-orang yang kelaparan mengerumuni hidangan mereka."
Seorang sahabat bertanya: "Apakah karena jumlah kami yang sedikit pada
hari itu?" Nabi SAW menjawab: "(Tidak) Bahkan jumlah kamu pada hari itu
sangat banyak (mayoritas), tetapi (kualitas) kamu adalah buih, laksana
buih di waktu banjir, dan Allah mencabut rasa gentar terhadap kamu dari
hati musuh-musuh kamu, dan Allah akan menanamkan penyakit
"al wahnu". Seorang bertanya, "Apakah al wahnu itu Ya Rasulallah?"
Rasulullah menjawab: "Cinta dunia dan takut mati." (HR Abu Dawud).
Umat Islam
digambarkan oleh Rasulullah SAW, ketika itu jumlahnya banyak. Tapi,
banyaknya tidak berarti, laksana buih. Sumber kehinaan itu terletak pada
sikap “hubbud-dunya”, penyakit tamak terhadap dunia.
Kebangkitan dan kehinaan suatu umat atau bangsa adalah merupakan
sunnatullah. Jika umat Islam tidak kembali kepada Islam, terjangkit
penyakit hubbud-dunya, maka selamanya umat ini
akan terus terhinakan. Pada saatnya nanti Allah akan memusnahkan umat
seperti itu dan menggantikannya dengan umat atau generesi yang lain.
“Wahai
orang-orang yang beriman, barangsiapa yang murtad dari agama Allah, maka
kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, yang Allah mencintai mereka,
dan merkapun mencintai Allah, mereka berkasih sayang kepada orang-orang
mukmin, dan tidak menghinakan diri kepada orang-orang kafir, mereka
berjihad di jalan Allah, dan mereka tidak takut pada celaan orang-orang
yang suka mencela.” (QS al-Maidah:54)
Manusia-manusia yang “tamak dunia” tidak memiliki sikap cinta Allah dan Rasul-Nya. Apalagi mau berjihad di jalan Allah! Mereka
hanya mementingkan syahwat dunia, mengejar dunia demi keuntungan dan
kesenangan dirinya. “Tamak dunia” menjauhkan manusia dari sikap cinta
pengorbanan yang menjadi salah satu asas kebangkitan sebuah bangsa atau
peradaban.
Syekh Amir Syakib Arsalan dalam buku terkenalnya, Limaadzaa Taa’kkharal Muslimun wa-limaadzaa Taqaddama Ghairuhum
menyebutkan, bagaimana besarnya sikap berkorban dari kaum Yahudi dan
bangsa-bangsa Barat, sehingga mereka mampu mengalahkan kaum Muslimin di
berbagai belahan dunia. Pemuda-pemuda Italia dulu, tulis Syaikh Arsalan,
merasa malu jika sampai umur 20 tahun masih ada di
kampungnya. Mereka meminta izin untuk pergi berperang melawan umat
Islam. Bangsa Yahudi mampu menghimpun dana yang sangat besar dan ribuan
milisi berani mati demi merebut Tanah Palestina.
Tengoklah
sejarah! Mengapa kaum Muslim hancur di Andalusia setelah hampir 800
tahun (711-1492) memimpin negeri ini. Mengapa Kota Jerualem bisa
diduduki Pasukan Salib (tahun 1099) yang jauh lebih rendah tingkat
peradabannya? Mengapa bangsa Mongol yang sangat biadab dan
barbar bisa menaklukkan Baghdad tahun 1215? Bisa disimpulkan: “tamak
dunia” adalah sumber utama kehancuran peradaban Islam saat itu.
Dr. Majid Irsan al-Kilani dalam bukunya, Hakadza Dhahara Jiilu Shalahuddin wa-Hakadza ‘Aadat al-Quds,
dengan tepat menggambarkan kondisi moralitas penguasa, ulama, dan
masyarakat, di saat-saat kejatuhan Kota Suci Jerusalem di tangan pasukan
salib. Penyakit tamak dunia merajalela, bukan hanya di kalangan
penguasa, tetapi juga di kalangan ulama. Umat Islam mengabaikan
aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Mereka membiarkan kemunkaran
merajalela, karena sibuk memikirkan kejayaan dan keuntungan pribadi dan
kelompoknya. Satu lagi, penyakit kronis ketika itu: umat Islam terjebak
dalam perpecahan antar-mazhab yang sangat parah. Mereka tidak peduli
dengan Islam, dan hanya sibuk memikirkan kejayaan kelompoknya dengan
mencaci-maki kelompok lainnya.
Di tahun 1980-an, Natsir juga pernah berpesan kepada para sejumlah cendekiawan Muslim yang mewawancarainya: ”Salah
satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah
berlebih-lebihan dalam mencintai dunia...Di negara kita, penyakit cinta
dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang ”baru”, tidak kita
jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada
sebagian kecil elite masyarakat). Tetapi, gejala yang
”baru” ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat perkembangannya, sehingga
sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan
berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami
kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita pada
umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius.”
Nabi Muhammad
saw sudah mengingatkan bahaya ”tamak dunia”. Sejarah sudah membuktikan.
Kini, kita bisa menilai: apakah bangsa Indonesia – bangsa Muslim
terbesar di dunia ini -- sedang menuju proses kebangkitan atau sedang
menggali kuburnya sendiri? Wallahu a’lam bil-shawab. (***)
0 komentar:
Posting Komentar