Memaafkan Masa Lalu
Sabtu, 15 September 2012
0
komentar
Lelaki itu seringkali menangis. Bahkan hingga jatuh pingsan jika mengingat tangan mungil yang menggapai-gapai ditimbun dengan tanah. Suara lugu tanpa dosa yang lenyap seketika, tergantikan oleh kesenyapan liang lahat yang begitu dingin.
Ia mungkin sudah tak lagi mengutuk-ngutuk kenangan buruk itu, tapi hatinya tak pernah bisa dibohongi. Ia yang mukanya pernah merah padam karena kelahiran bayi perempuan. Ia yang pernah menyembah-nyembah roti dan menyembunyikannya di balik bantal, jika saat lapar, roti itu dimakannya. Ia yang suatu hari, pada dimensi ruang dan waktu yang berbeda menghadap Rasulullah dan mengucap dua kalimat syahadat. Hingga kata taubat terucap, air mata Umar bin Khatab masih mengalir deras jika mengingat segala kesalahan yang ia lakukan. Waktu mungkin bisa menyembuhkan, tapi memori akan tetap tersimpan sampai ajal menjelang.
Masa kita sekarang memang jauh melampaui masa Sang Khalifah, tapi sebagaimana manusia biasa, kita dan beliau tetap sama, makhluk yang tak pernah bebas dari dosa dan penyesalan. Dalam perjalanan hidup kita, mungkin satu dua kali kita pernah melakukan kekhilafan, kemudian kita terus menerus mengutuk kekhilafan itu dengan kekecewaan berlebih, keputusasaan, dan perasaan bersalah serta malu yang begitu dalam.
Namun, saat ada bisikan yang menyentil ruang batin kita, kita lantas menemukan kenyataan bahwa perasaan kecewa itu ada karena kita belum memaafkan diri sendiri. Kecil, perkara yang kecil jika dibandingkan dengan luasnya ampunan Tuhan. Seperti sejumput garam yang ditabur di atas luasnya danau. Sederhana, perkara yang sederhana jika dibandingkan dengan megahnya nikmat dari Tuhan. Karena dalam penyesalan tersebut sejatinya kita masih menyimpan rasa syukur. Syukur karena masih diberikan kesempatan untuk ‘sadar’.
Alkisah, ada seorang guru yang menyuruh anak muridnya untuk membawa bungkusan apel. Sang guru berkata kepada para muridnya, “Anak-anak, kita akan bermain game. Game-nya seperti ini, anggap apel ini adalah orang atau peristiwa yang kalian benci. Kalau kalian benci pada satu orang, taruh satu apel di dalam plastik bening, kalau dua, ya dua apel, dan seterusnya. Bawa besok ya?”
Kemudian keesokan harinya sang murid membawa bungkusan apel itu. Ada yang membawa satu, dua, hingga sepuluh apel. Sang guru meminta murid tersebut menggantungkan bungkusan apelnya di tas masing-masing. Satu dua hari belum ada masalah, hingga hari keempat, lima, lalu enam, apel itu makin membusuk dan murid-murid tak tahan dengan baunya. Hari ketujuh sang guru berkata kepada muridnya, “Apakah enak membawa apel busuk ke mana-mana?” Para murid lantas terdiam.
Setiap jalinan peristiwa adalah tempat bagi kita untuk belajar, pun pertemuan kita dengan orang per orang. Memaafkan itu sulit, tapi lebih sulit lagi jika kita memiliki hati yang kerdil. Hati yang penuh prasangka, hati yang dirundung rasa gelisah dan was-was, hati yang penuh rasa dendam. Hati yang sulit untuk lapang. Bagaimanakah bisa kita mengharapkan cinta dan ampunan Tuhan, jika maaf dan memaafkan dianggap sebagai beban?
Bahkan, Adam dan Hawa, tinggalnya mereka di bumi pun berangkat dari satu kesalahan di surga: memakan buah khuldi. Kita tak pernah tahu rasa sesal mereka seperti apa. Tapi peristiwa tersebut telah membuat milyaran turunannya hidup dalam perselisihan demi perselisihan di muka bumi. Memeras keringat, merasai kegagalan, hingga menumpahkan darah satu sama lain. Maka Adam, mengingat betapa besarnya ampunan Tuhan, lantas berdo’a.
Rabbana zhalamna anfusana wa in llam taghfir lana wa tarhamna lanakunanna minal khasirin
Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi (QS 7:23)
Pada akhirnya, masa lalu tak lebih dari sebuah gelas kosong yang berdebu. Tak berarti apa-apa. Tak ada yang istimewa. Tapi jika gelas tersebut jatuh berkeping-keping, terinjak, lalu tapak kaki kita terkena pecahannya dan meninggalkan luka, itu bisa jadi lain perkara. Berbekas, bisa jadi. Tapi hanya kelapangan hati yang bisa mengobati segalanya.
Ia mungkin sudah tak lagi mengutuk-ngutuk kenangan buruk itu, tapi hatinya tak pernah bisa dibohongi. Ia yang mukanya pernah merah padam karena kelahiran bayi perempuan. Ia yang pernah menyembah-nyembah roti dan menyembunyikannya di balik bantal, jika saat lapar, roti itu dimakannya. Ia yang suatu hari, pada dimensi ruang dan waktu yang berbeda menghadap Rasulullah dan mengucap dua kalimat syahadat. Hingga kata taubat terucap, air mata Umar bin Khatab masih mengalir deras jika mengingat segala kesalahan yang ia lakukan. Waktu mungkin bisa menyembuhkan, tapi memori akan tetap tersimpan sampai ajal menjelang.
Masa kita sekarang memang jauh melampaui masa Sang Khalifah, tapi sebagaimana manusia biasa, kita dan beliau tetap sama, makhluk yang tak pernah bebas dari dosa dan penyesalan. Dalam perjalanan hidup kita, mungkin satu dua kali kita pernah melakukan kekhilafan, kemudian kita terus menerus mengutuk kekhilafan itu dengan kekecewaan berlebih, keputusasaan, dan perasaan bersalah serta malu yang begitu dalam.
Namun, saat ada bisikan yang menyentil ruang batin kita, kita lantas menemukan kenyataan bahwa perasaan kecewa itu ada karena kita belum memaafkan diri sendiri. Kecil, perkara yang kecil jika dibandingkan dengan luasnya ampunan Tuhan. Seperti sejumput garam yang ditabur di atas luasnya danau. Sederhana, perkara yang sederhana jika dibandingkan dengan megahnya nikmat dari Tuhan. Karena dalam penyesalan tersebut sejatinya kita masih menyimpan rasa syukur. Syukur karena masih diberikan kesempatan untuk ‘sadar’.
Alkisah, ada seorang guru yang menyuruh anak muridnya untuk membawa bungkusan apel. Sang guru berkata kepada para muridnya, “Anak-anak, kita akan bermain game. Game-nya seperti ini, anggap apel ini adalah orang atau peristiwa yang kalian benci. Kalau kalian benci pada satu orang, taruh satu apel di dalam plastik bening, kalau dua, ya dua apel, dan seterusnya. Bawa besok ya?”
Kemudian keesokan harinya sang murid membawa bungkusan apel itu. Ada yang membawa satu, dua, hingga sepuluh apel. Sang guru meminta murid tersebut menggantungkan bungkusan apelnya di tas masing-masing. Satu dua hari belum ada masalah, hingga hari keempat, lima, lalu enam, apel itu makin membusuk dan murid-murid tak tahan dengan baunya. Hari ketujuh sang guru berkata kepada muridnya, “Apakah enak membawa apel busuk ke mana-mana?” Para murid lantas terdiam.
Setiap jalinan peristiwa adalah tempat bagi kita untuk belajar, pun pertemuan kita dengan orang per orang. Memaafkan itu sulit, tapi lebih sulit lagi jika kita memiliki hati yang kerdil. Hati yang penuh prasangka, hati yang dirundung rasa gelisah dan was-was, hati yang penuh rasa dendam. Hati yang sulit untuk lapang. Bagaimanakah bisa kita mengharapkan cinta dan ampunan Tuhan, jika maaf dan memaafkan dianggap sebagai beban?
Bahkan, Adam dan Hawa, tinggalnya mereka di bumi pun berangkat dari satu kesalahan di surga: memakan buah khuldi. Kita tak pernah tahu rasa sesal mereka seperti apa. Tapi peristiwa tersebut telah membuat milyaran turunannya hidup dalam perselisihan demi perselisihan di muka bumi. Memeras keringat, merasai kegagalan, hingga menumpahkan darah satu sama lain. Maka Adam, mengingat betapa besarnya ampunan Tuhan, lantas berdo’a.
Rabbana zhalamna anfusana wa in llam taghfir lana wa tarhamna lanakunanna minal khasirin
Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi (QS 7:23)
Pada akhirnya, masa lalu tak lebih dari sebuah gelas kosong yang berdebu. Tak berarti apa-apa. Tak ada yang istimewa. Tapi jika gelas tersebut jatuh berkeping-keping, terinjak, lalu tapak kaki kita terkena pecahannya dan meninggalkan luka, itu bisa jadi lain perkara. Berbekas, bisa jadi. Tapi hanya kelapangan hati yang bisa mengobati segalanya.
***
from: islammedia.web.id
0 komentar:
Posting Komentar