“perdebatan di perpustakaan”

Posted by bilal Selasa, 05 Juni 2012 0 komentar
perdebatan di perpustakaan

Oleh: bilal bin ali.

Catatan_manis di perpustakaan wilayah
Di suatu siang sekitar jam 10an, seorang wanita cantik yang duduk tepat di samping kanan ku mangajak untuk ngobrol, mungkin dia jenuh setelah membaca tumpukan-tumpukan buku di hadapannya itu. Sebelumnya dia memperkenalkan namanya “Helena metenhoru” sambil mangulurkan tangan kanannya kearahku. “Ali” singkit ku jawab, namun maaf uluran tangannya ku abaikan dan kubalas dengan uluran dekapan tangan di dada persis seperti seorang saudagar dari tanah melayu.

Dia memandangku dengan keheranan “kenapa tidak bersalam dengan ku?” pertanyaan pertama dia luntarkan padaku. Aku hanya senyum padanya, sungguh matanya begitu bening saat memandangku dengan keheranan didada. “semua orang pasti punya privasi kan?” Tanya ku balik padanya.

Dia kembali heran dan sedikit mengkerutkan dahinya, sambil tersenyum dia pun menjawab

“ya, semua orang pasti punya itu? tapi apakah privasi itu menghalangi dia untuk tidak berjabat tangan? Bukankah berjabat tangan merupakan salam yang paling lazim di gunakan untuk dunia zaman sekarang ini?”

Kalimat yang sudah biasa ku dengar dan ku jawab berulang-ulang. Aku hanya tersenyum saja. Namun dia masih menunggu jawaban ku?, jawaban yang membuatnya keheranan. Sesekali dia menambah karutan tebal di dahinya itu untuk menunggu jawabanku. terpaksa harus ku jawab.

“ada kalanya privasi seseorang membatasi dia untuk melakuakan sesuatu,tergantung personalnya bagaimana memandang privasi itu?, kalau tadi Helena katakan bahwa jabat tangan merupakan bagian salam pada zaman sekarang, menurut saya anda telah salah menempatkan hal itu,  mengapa?.  pada dunia eropa, jabat tangan merupakan bahasa komunikasi yang sangat standar? Tak usalah jauh-jauh ke eropa, di Indonesia sendiri cipika-cipiki merupakan bagian dari salam. Lalu apakah masih relefan lagi jabat tangan di Indonesia, menurut dunia zaman sekarang ini? Setelah jabat tangan telah di hilangkan oleh sebagian orang?” jawabku sembari membaca kembali biografi che.

Tampaknya dia tak puas dengan jawabanku itu, “jadi, saudara Ali lebih senang saat saya mencipika-cipiki ketimbang bersalaman dengan saudara?” katanya dengan nada yang terdengar sinis?. Aku kembali tersenyum memandangnya, ku tutup buku di tanganku dan ku letakkan di atas meja.

“kalau cipika-cipiki dan jabat tangan merupakan bagian dari salam perkenalan seorang pria dengan wanita, maka tarulah saya pada deretan orang yang kolot. Karena saya mencoba untuk menghindari cipika-cipiki dan jabat tangan pada wanita” jawabku dengan gugup. Dia memandangku dengan tatapan yang menusuk jantung, kawan.

“apa yang membuat seorang pria kolot tidak sudih berjabat tangan atau sekedar cipika-cipiki dengan seorang wanita? Bukankah seorang pria dan wanita itu sama! Lantas kenapa kok masih ada orang yang naïf untuk berjabat tangan, lalu beralasan privasi? Padahal sesungguhnya pria kolot itu mencoba menyudutkan seorang wanita! Dengan tidak berjabat tangan” katanya kembali.

Kali ini aku tak tersenyum. “anda sendiri telah menjawab semua pertanyaan anda itu kembali?” ku tarik nafas ku, lalu kulanjutkan “privasi. Karena privasi itu yang membuatku enggan berjabat tangan dengan anda, bukan karena anda seorang wanita? Tapi samakah harga sebuah berlian dan batu? Jika anda mengatakan sama, maka anda harus cek ke rumah sakit jiwa apakah harga berlian sama tidak dengan sebuah batu?” dia menatapku dengan tatapan tajam? “lalu?....” Tanya nya panas, menunggu jawabanku kembali yang ia potong.

“anda adalah berlian dan sepantasnya saya menjaga berlian itu dengan lembut, kalau perlu tak ku biarkan orang lain menyentuh berlian itu? kenapa , karena dia terlalu berharga. Berbeda dengan batu, dia tak terlalu berharga bagi ku, maka saat ada sebuah pilihan yang mempertnyakan apakah jabat tangan merupakan bagian dari relefansi zaman. Menurut saya anda salah, mengapa? Karena sadar atau tidak anda telah menampak kan berlian itu pada orang lain yang anda belum kenal, bisa jadi orang yang belum anda kenal itu akan mencuri berlian itu? bukankah bang napi telah mengingatkan: kejahatan bukan kerena ada niat pelakunya tapi karena ada juga kesempatan. Maka, waspadalah-waspadalah”

Dia terlihat tersenyum memandangku, aku pun tersipi,  kawan?. Tersipi dengan senyuman yang ku tunggu darinya, setelah beberapa detik dia mengkerutkan dahinya dan menatapku dengan tatapan tajam.

Ku lanjutkan kembali perkataan ku. “jadi, samakah berlian dan batu, helena?.... privasi, telah ku katakana. Bahwa privasi itu tergantung cara pangdang kita, kita sah-sah saja menilai itu dan ini buruk menurut anggapan kita. Tapi tak ada salahnya kan jika kita melihat sebuah kasus lewat sudut pandang orang lain?, saya punya tanggapan terhadap apa yang tadi Helena katakan: dalam diri saya tidak ada niat untuk menyudutkan wanita, tapi sebaliknya. Saya menyanjung wanita, dan saya simpati terhadap wanita. Pernah dengar kisah Mawar Al-Sherbini wanita yang tewas di bunuh oleh Alex W, lelaki jerman keturunan Rusia?, nampaknya anda tidak mengetahui itu?”.

“ya, sepertinya? Saya tidak begitu mengenal tokoh yang tadi saudara Ali katakan. Siapa dia?” Tanya Helena, menyelidik.

“dia salah satu wanita inspirasi ku!.... lewat dia saya mengenal sosok-sosok wanita lain dalam hidup ini, yang sejenis dengannya. Ada satu saran buat anda saudari Helena? Banyaklah melihat sebuah perjalanan hidup pada sudut yang berbeda, karena ada sebuah sudut yang tak mungkin membohongi penilaian yang benar”

“nampaknya demikian, dan salah satu sudut telah ku lihat sekarang!” katanya mantap, sembari senyuman lebar menghiasi wajahnya itu. aku tersipu lagi memandang wajahnya. Belum ku Tanya Alamat rumahnya tiba-tiba.

 Lagu yang berjudul Dear Good, terdengar dari hpnya, lengkingan suara music dari band Avenged 7fold menggiring Helena untuk mengangkatnya.

“helo,…. Ya, ya… ya. Nanti saya kesana” lalu menutup pembicaraan dengan orang di ujung telpon

“maaf, saudara Ali nanti diskusi kita lanjutkan lain waktu. oOooyah hampir lupa! Nomor hp kamu berapa?”

Ku ucapkan nomor hpku, dia mencatatnya di selembar kertas di atas meja.
“lain waktu saya akan telfon kalau ada keperluan”
“sip” kataku.

                                                                 Untuk Helena metenhoru, yang kucari alamat fecebooknya
namun tak ada.
                                                              Nampaknya, dia tak tertarik untuk menuangkan waktu difacebook.
                                                                         Ah……. entalah!
                                                                                                                                      Ambon awal desember 2010

0 komentar:

Posting Komentar